Dari Terpuruk ke Puncak: Salim Bangkit Usai Tragedi 98!

Harimurti

Dari Terpuruk ke Puncak: Salim Bangkit Usai Tragedi 98!

Lintaswarta.co.id, Jakarta – Siapa yang tak kenal Indofood? Produknya merajai dapur masyarakat Indonesia, menjadi salah satu pilar utama kerajaan bisnis Keluarga Salim. Grup ini adalah simbol konglomerasi Indonesia, kini dipimpin generasi ketiga. Namun, siapa sangka, di balik gemerlap kesuksesan, Salim Group pernah terjerembap dalam jurang kehancuran.

Kisah jatuh bangun Salim Group tak bisa dilepaskan dari sosok Sudono Salim, sang pendiri, dan kedekatannya dengan penguasa Orde Baru. Untuk memahami bagaimana bisnis ini bisa meraksasa, lalu hancur lebur, kita perlu menelusuri jejak awal jaringan yang dibangun Sudono bersama rezim Soeharto.

Dari Terpuruk ke Puncak: Salim Bangkit Usai Tragedi 98!
Gambar Istimewa : awsimages.detik.net.id

Kedekatan Sudono Salim dengan Presiden Soeharto terjalin sejak lama. Salim, seorang pengusaha impor cengkeh dan logistik tentara pasca kemerdekaan, menarik perhatian Kolonel Soeharto karena jaringan bisnisnya yang luas. Melalui perantara sepupunya, Sulardi, Salim dan Soeharto bertemu. Salim kemudian menjadi penyuplai logistik pasukan Kolonel Soeharto selama Perang Kemerdekaan (1945-1949). Pertemuan inilah yang mengubah jalan hidup Salim.

COLLABMEDIANET

"Setelah Soeharto meraih kekuasaan di Indonesia pada pertengahan 1960-an dan menjadi presiden, dia didukung oleh kelompok kroni pengusaha, yang terbesar dan terkuat adalah Liem Sioe Liong," tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016).

Selama tiga dekade, keduanya menjalin hubungan simbiosis mutualisme. Soeharto melindungi Liem dan memastikan bisnisnya lancar. Sebagai imbalan, Liem, melalui kerajaan bisnis Salim Group, menyalurkan dana kepada Soeharto, keluarga, dan kroni lainnya. Alhasil, keduanya berjaya di bidangnya masing-masing. Salim menjadi orang terkaya di Indonesia, sementara Soeharto memegang tampuk kekuasaan. Namun, kejayaan ini runtuh dalam hitungan hari pada Mei 1998.

Target Amukan Massa

Selama tiga dekade, Salim sukses membangun tiga kerajaan bisnis di tiga sektor: perbankan (Bank Central Asia, BCA), bangunan (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Namun, semuanya perlahan runtuh saat krisis 1998 menerjang. BCA menjadi yang terparah.

Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebutkan, selama masa krisis, nasabah menarik dana secara massal. Ratusan orang rela antre berjam-jam untuk menguras tabungannya. Kondisi ini membuat BCA kehilangan kepercayaan masyarakat dan terancam bangkrut. Puncaknya terjadi pada Mei 1998.

Kedekatan dengan Soeharto menjadi malapetaka bagi Salim. Sentimen anti-Soeharto yang muncul akibat krisis ekonomi yang meluas menjadi pukulan telak. Masyarakat yang mengetahui kedekatan keduanya menjadikan Salim sebagai target. Salim, sebagai orang terkaya, harus dihancurkan. Ini terjadi usai unjuk rasa berubah menjadi kerusuhan rasial pada 13 Mei 1998.

Hari itu, Jakarta dan sekitarnya dilanda kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran terhadap rumah, toko, dan kendaraan (Kompas, 14 Mei 1998). Massa yang terprovokasi menyasar bangunan dan kendaraan milik warga Tionghoa, bahkan menargetkan orang Tionghoa itu sendiri.

Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan bahwa sentimen rasial terhadap Tionghoa muncul karena stereotip bahwa mereka patut dibenci karena kaya raya dan dekat dengan penguasa Soeharto. Tokoh sentral yang melekat dengan deskripsi itu adalah Sudono Salim.

"Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama," tulis Ricklefs.

Saat kerusuhan terjadi, Sudono Salim, istri, dan beberapa anaknya sedang berada di Amerika Serikat untuk operasi mata Salim. Di Jakarta, hanya ada Anthony Salim yang bekerja di Wisma Indocement, Jl. Sudirman. Anthony bahkan tidak berani pulang ke rumahnya di kawasan Roxy karena permukiman warga Tionghoa juga menjadi sasaran.

Pagi hari tanggal 14 Mei, Anthony menerima kabar bahwa rumah ayahnya didatangi sekelompok pemuda bersenjata jerigen bahan bakar dan perkakas. Mereka ingin masuk ke rumah mewah Liem. Anthony memerintahkan satpam untuk mempersilahkan massa masuk dan merusak rumahnya, daripada terjadi pertumpahan darah.

"Dalam sekejap, seluruh mobil di garasi terbakar, termasuk juga seisi rumah. Mereka membakar furnitur, mencopot lukisan dan mengobrak-abrik kamar. Bahkan mereka mencoret-coret rumah dengan kata-kata tidak pantas," tutur Anthony kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.

Asap hitam membumbung tinggi dari kediaman Salim. Di jalanan, foto Salim dilempari batu dan dibakar oleh massa yang marah (Kompas, 15 Mei 1998). Anthony segera meninggalkan kantornya dan pergi ke Bandara Halim untuk menuju Singapura dengan pesawat jet pribadi. Dari sana, Anthony memantau perkembangan bisnisnya setelah masa-masa sulit itu.

Kebangkitan dari Abu

Setelah kerusuhan mereda dan Soeharto lengser, BCA mengalami kerugian paling parah. Tercatat 122 cabang rusak, 17 kantor terbakar habis, 26 cabang dirusak dan dijarah, dan 75 cabang rusak tetapi tidak dijarah. Selain itu, 150 ATM dirusak dan uang tunainya diambil, menyebabkan kerugian Rp 3 miliar.

Selain BCA, Indofood juga diserang. Pabriknya di Solo dijarah dan dibakar hingga menelan kerugian Rp 42 miliar. Pusat distribusinya di Tangerang juga hancur dijarah massa. Hanya Indocement yang masih bisa bertahan.

Seminggu setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, BCA diambil alih oleh pemerintah karena kondisi keuangannya yang memburuk. Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjadikan BCA sebagai BTO (Bank Taken Over) untuk menyelamatkannya. Sejak saat itu, BCA tidak lagi menjadi milik keluarga Salim. Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebutkan bahwa untuk menghidupi kembali bisnisnya, Salim hanya mengandalkan Indofood.

Lintaswarta.co.id – Kini, 25 tahun setelah tragedi itu, bisnis Keluarga Salim kembali berjaya. Tidak hanya Indofood, bisnisnya merambah sektor migas, konstruksi, perbankan, hingga data center. Mengutip daftar 50 orang terkaya Forbes, Anthony Salim dan keluarga duduk di urutan kelima dengan total kekayaan US$ 12,8 miliar atau setara Rp 214,32 triliun (kurs Rp 16.740).

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikutikami :

Tinggalkan komentar