Lintaswarta.co.id – Kisah pilu menimpa Mat Sam, seorang warga Kampung Cempaka, Kalimantan Selatan, yang menemukan intan raksasa bernilai fantastis. Alih-alih menjadi kaya raya, ia justru hidup dalam kemelaratan setelah intan temuannya disita pemerintah pada tahun 1965.
Pada tanggal 26 Agustus 1965, Mat Sam bersama empat rekannya menemukan intan berukuran 166,75 karat. Intan tersebut memiliki warna biru bercampur kemerahan yang sangat bersih, sontak membuat geger masyarakat sekitar. Ukurannya yang luar biasa, bahkan sedikit lebih kecil dari berlian Koh-i-Noor yang menghiasi mahkota Kerajaan Inggris, membuat harganya diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah pada masa itu.

Namun, kebahagiaan Mat Sam dan rekan-rekannya tak berlangsung lama. Pemerintah daerah Pantjatunggal Kabupaten Banjar mengambil alih intan tersebut dan membawanya ke Jakarta untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno. Tindakan ini, seperti yang ditulis surat kabar Angkatan Bersenjata (11 September 1967), bertentangan dengan keinginan para penemu.

Related Post
Janji manis pun diumbar. Dalam harian Pikiran Rakjat (13 Agustus 1965), disebutkan bahwa intan jumbo itu akan digunakan untuk membangun Kalimantan Selatan dan membeli teknologi penggalian intan. Presiden Soekarno juga menjanjikan hadiah naik haji gratis bagi para penemu, termasuk Mat Sam.
Sayangnya, janji tinggal janji. Hingga dua tahun kemudian, hadiah yang dijanjikan tak kunjung tiba. Para penemu yang hidup dalam kemelaratan pun menyuarakan keluh kesah mereka dan memohon keadilan.
Jika dikonversikan ke harga emas saat ini, nilai intan 166,75 karat tersebut mencapai angka fantastis, yaitu sekitar Rp 15,22 triliun. Sebuah ironi, penemu harta karun triliunan rupiah justru hidup dalam kesulitan ekonomi.
Melalui kuasa hukumnya, Mat Sam menyampaikan aspirasinya kepada Presidium Kabinet Ampera, Jenderal Soeharto. Namun, hingga kini, tidak ada catatan sejarah yang mengungkap apakah Mat Sam akhirnya mendapatkan keadilan atau tidak. Kisah ini menjadi pengingat pahit tentang nasib seorang penemu yang harus merelakan harta temuannya diambil alih, tanpa mendapatkan kompensasi yang layak.
Tinggalkan komentar