Informasi yang diperoleh lintaswarta.co.id menyebutkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputran Namo, yang diduga akibat penganiayaan, diadili di peradilan sipil. Dua puluh prajurit TNI telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya Senin (11/8), menegaskan perlunya peradilan sipil sesuai amanat TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan UU TNI.
Usman Hamid menyoroti bukan hanya kasus Prada Lucky yang menjadi sorotan. Dalam empat tahun terakhir, setidaknya dua kasus pembunuhan sesama anggota TNI telah mencuat ke publik. Selain kasus Prada Lucky, terdapat kasus Prada MZR yang tewas dianiaya seniornya di Desember 2023 dan Sertu Bayu yang meninggal pada November 2021 akibat penganiayaan. Ketiga kasus tersebut menunjukkan pola yang sama: ketertutupan proses penegakan hukum.

Koalisi tersebut menilai peradilan militer yang belum direformasi, dengan hakim, jaksa, dan terdakwa berasal dari TNI, meragukan imparsialitasnya. Hal ini berpotensi besar memunculkan impunitas bagi pelaku. Usman Hamid menekankan bahwa impunitas ini tak lepas dari kegagalan reformasi peradilan militer, yang mengabaikan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 Pasal 3 Ayat (4) huruf a dan Pasal 65 Ayat (2) UU TNI yang mengatur agar prajurit yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum. Praktiknya, kasus-kasus serupa justru ditangani peradilan militer, melanggar prinsip equality before the law dan memperkuat persepsi kebal hukum bagi anggota militer.

Related Post
Ironisnya, di tengah kasus ini, TNI malah membentuk enam Kodam baru. Koalisi sipil menilai langkah ini sebagai kemunduran reformasi TNI dan mendorong restrukturisasi komando teritorial (koter). Pembentukan Kodam baru, menurut Usman, tak hanya boros anggaran negara, tetapi juga tak relevan dengan perkembangan lingkungan strategis. Ia menghubungkan keberadaan Kodam dengan peran sosial-politik (dwifungsi) pada masa Orde Baru, yang lebih berfungsi sebagai alat penunjang kekuasaan rezim. Struktur ini kini berfungsi sebagai instrumen pengawasan sosial dan politik, mengaburkan batas fungsi pertahanan dan kontrol sipil. Dengan demikian, keberadaan Kodam baru dinilai sebagai pengkhianatan terhadap Reformasi 1998 dan upaya mengembalikan dwifungsi TNI serta Orde Baru.
Tinggalkan komentar