Lintaswarta.co.id – Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2025, Maria Corina Machado, membuat pernyataan kontroversial dengan menyerukan intervensi militer Amerika Serikat (AS) di Venezuela. Tindakan ini menuai kecaman sekaligus dukungan dari berbagai pihak.
Machado, seorang tokoh oposisi yang vokal terhadap Presiden Nicolas Maduro, berpendapat bahwa intervensi militer AS adalah satu-satunya cara untuk menggulingkan rezim yang dianggapnya "ilegal dan korup." Dalam wawancaranya dengan Bloomberg, Machado menyatakan bahwa eskalasi adalah cara memaksa Maduro untuk mundur.
    Lintaswarta.co.id Machado mengklaim bahwa Maduro merebut kekuasaan secara tidak sah dalam pemilu tahun lalu, di mana dirinya dilarang berpartisipasi. Ia juga menuding bahwa Edmundo Gonzalez Urrutia, kandidat oposisi yang sebenarnya memenangkan pemilu tersebut. Machado menegaskan bahwa ini bukan perubahan rezim, melainkan penegakan kehendak rakyat Venezuela, dan menyebut Maduro sebagai "kepala struktur narkoterorisme."

Related Post
Pernyataan Machado muncul di tengah meningkatnya kehadiran militer AS di perairan Karibia. Washington menuduh Maduro memiliki hubungan dengan kartel narkoba dan menyebutnya sebagai "narcoterrorist." Sejak awal tahun, pemerintahan Donald Trump telah mengerahkan armada angkatan laut ke lepas pantai Venezuela untuk operasi kontra-narkotika, yang menurut analis dapat meluas menjadi upaya perubahan rezim.
Lintaswarta.co.id Meskipun Trump membantah rencana serangan langsung, laporan media menyebut Gedung Putih telah meninjau daftar target potensial di Venezuela. Menanggapi hal itu, Maduro menuduh Machado menyalurkan dana AS kepada kelompok anti-pemerintah "fasis," dan menyebutnya sebagai dalih bagi campur tangan Washington. Caracas juga mengecam operasi AS sebagai pelanggaran kedaulatan dan upaya kudeta.
Maduro menegaskan bahwa Venezuela akan mencari dukungan dari Rusia, China, dan Iran untuk memperkuat pertahanannya. Sementara itu, Machado menilai ancaman militer AS saja sudah cukup menekan rezim Caracas. Ia menambahkan bahwa oposisi siap mengambil alih pemerintahan dengan dukungan militer dan polisi, mengklaim "lebih dari 80% dari mereka bergabung dan siap mendukung transisi tertib segera setelah dimulai."
Lintaswarta.co.id Rusia, yang baru saja meratifikasi perjanjian kemitraan strategis dengan Venezuela, mengecam langkah Washington dan menyebut kampanye militer AS sebagai ancaman bagi stabilitas kawasan. Situasi ini semakin memperkeruh hubungan antara Venezuela dan AS, serta meningkatkan ketegangan di kawasan Amerika Latin.









Tinggalkan komentar