Lintaswarta.co.id, Jakarta – Penjualan mobil di Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, angka ini masih tertinggal jauh dari capaian Agustus 2024 dan bahkan kalah telak dibandingkan dengan penjualan mobil di Malaysia pada periode yang sama. Lantas, apa yang menyebabkan penjualan mobil di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga?
Pengamat Otomotif, Yannes Martinus Pasaribu, mengungkapkan bahwa akar masalahnya terletak pada perbedaan kebijakan pajak dan daya beli masyarakat. Pajak tahunan kendaraan di Malaysia yang relatif rendah, berkisar antara 2-5% dari nilai kendaraan, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk memperbarui armada kendaraan mereka.

"Masalahnya klasik. Pajak tahunan kendaraan di Malaysia yang rendah mendorong ‘remajakan armada’ dan pembelian baru, terutama di kalangan kelas menengah," ujar Yannes kepada Lintaswarta.co.id.

Related Post
Selain itu, Malaysia juga memberikan insentif untuk kendaraan listrik (EV) dan mobil hybrid hingga akhir tahun, serupa dengan Indonesia. Namun, yang membedakan adalah pembebasan penuh pajak impor, cukai, dan penjualan untuk EV yang dirakit di Malaysia hingga Desember.
Namun, faktor kunci yang membedakan adalah pendapatan rata-rata masyarakat. Pada tahun 2023, pendapatan rata-rata rakyat Malaysia mencapai US$11.970, dengan proyeksi pertumbuhan hingga US$12.500 pada tahun 2025. Sementara itu, pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia hanya sekitar US$4.980.
"Jadi jelas ada kesenjangan ekonomi yang signifikan antara daya beli rakyat Malaysia dan Indonesia, sampai 2,5 kali," tegas Yannes.
Akibatnya, penjualan mobil listrik di Malaysia pun berhasil melampaui Indonesia pada tahun 2025. Kebijakan insentif yang lebih jangka panjang, dominasi produksi lokal, dan daya beli masyarakat kelas menengah yang lebih tinggi menciptakan ekosistem adopsi EV yang lebih matang di Malaysia.
Selain itu, Malaysia juga unggul dalam rasio ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) per EV, yaitu 0,273 berbanding 0,093 di Indonesia. Distribusi SPKLU di Malaysia juga lebih merata, sementara di Indonesia terkonsentrasi di Jawa.
Kualitas infrastruktur jalan yang lebih baik di Malaysia juga menjadi faktor pendukung. Yannes menjelaskan bahwa jalanan di Malaysia, bahkan hingga ke pelosok desa, menggunakan aspal hotmix. Hal ini mendorong efisiensi biaya logistik dan meningkatkan kepercayaan konsumen untuk membeli mobil baru.
Untuk mengejar ketertinggalan dari Malaysia, Yannes menekankan pentingnya perbaikan pertumbuhan ekonomi makro di Indonesia. Ia berharap program pemerintah terkait gelontoran dana Rp200 triliun dan deregulasi dapat memutar dana yang parkir di bank-bank pemerintah ke sektor bisnis dalam negeri.
Sebagai informasi tambahan, penjualan mobil nasional pada Agustus 2025 mengalami kenaikan 1,48% menjadi 61.780 unit dibandingkan Juli 2025. Namun, jika dibandingkan dengan Agustus 2024, terjadi penurunan sebesar 19,03%. Sementara itu, penjualan mobil di Malaysia pada Agustus 2025 melonjak 0,6% menjadi 73.041 unit dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tinggalkan komentar