Laporan lintaswarta.co.id menyebutkan Komisi II DPR RI mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memberikan penjelasan kepada publik terkait kebijakan pembatasan akses terhadap 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan keprihatinannya atas keputusan KPU yang menetapkan dokumen-dokumen tersebut sebagai informasi yang dikecualikan dan tidak dapat diakses publik tanpa persetujuan pihak terkait. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025.
Rifqi mempertanyakan alasan di balik keputusan tersebut, terutama karena dikeluarkan setelah tahapan pemilu berakhir. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu untuk menjaga kepercayaan publik. Ia membandingkan dengan praktik pembukaan data dan dokumen calon legislatif yang selama ini dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan dapat diakses publik. Rifqi berpendapat bahwa berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut seharusnya tidak dikecualikan karena tidak termasuk rahasia negara dan tidak melanggar privasi.

Sementara itu, Ketua KPU RI, Afifuddin, menjelaskan bahwa keputusan tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengizinkan pengecualian informasi publik berdasarkan pertimbangan konsekuensi dan kepentingan yang lebih besar. Keputusan ini berlaku selama lima tahun, kecuali jika pihak terkait memberikan persetujuan tertulis atau pengungkapan terkait jabatan publik.

Related Post
Dokumen-dokumen yang dikecualikan tersebut mencakup berbagai hal penting, mulai dari salinan KTP dan akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian, surat keterangan kesehatan, laporan harta kekayaan, hingga surat pernyataan kesediaan maju sebagai capres/cawapres. Pertanyaan besar kini muncul: apakah langkah KPU ini benar-benar demi kepentingan yang lebih besar, atau justru mengaburkan transparansi proses pemilihan presiden dan wakil presiden? Publik menantikan klarifikasi lebih lanjut dari KPU terkait kebijakan kontroversial ini.
Tinggalkan komentar