Informasi mengejutkan datang dari rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi III DPR yang dikutip dari lintaswarta.co.id. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) secara tegas mendesak penghapusan wewenang penyadapan bagi aparat penegak hukum dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Usulan kontroversial ini disampaikan Selasa (17/6) di tengah masa reses DPR. Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Reva, menyatakan kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang penyadapan yang dinilai berpotensi merugikan.
Reva menekankan bahwa pengaturan penyadapan telah diatur dalam berbagai undang-undang lain, seperti UU Narkotika, UU Tipikor, dan UU Polri. Menurutnya, memasukkan penyadapan dalam RKUHAP menjadi redundant dan berpotensi menimbulkan masalah baru. "Penyadapan sudah diatur di UU lain, tak perlu lagi di KUHAP," tegas Reva. Ia berpendapat Pasal 84 RKUHAP yang mengatur upaya paksa cukup mencakup penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan larangan bepergian keluar negeri. Peradi menilai penyadapan tidak perlu masuk dalam daftar tersebut.

Desakan Peradi ini tentu menimbulkan perdebatan. Komisi III DPR sendiri tengah berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan revisi RKUHAP. Targetnya, revisi ini dapat berlaku efektif pada 1 Januari 2026, berbarengan dengan berlakunya KUHP baru. Namun, usulan kontroversial dari Peradi ini berpotensi memperlambat proses tersebut dan memicu perdebatan panjang di parlemen. Apakah usulan ini akan diterima? Kita tunggu perkembangan selanjutnya.

Related Post
Leave a Comment