TAPANULI SELATAN - Diduga pemerintah kurang perhatian, dimana puluhan Kepala Keluarga (KK) di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut), yang tinggal di Hutan. Akibatnya, Selain kurangnya peningkatan ekonomi, puluhan anak anak sekolah, juga harus berjalan kaki melewati hutan kurang lebih 10 kilometer untuk belajar di SD hingga SMK di sekolah terdekat.
“Dari dulu sudah begini, jadi tidak ada yang aneh. Memang kalau dibandingkan di tempat lain, kami jauh tertinggal” ujar J. Harefa (36) warga Desa Aek Parupuk Kecamatan Tano Tombangan Angkola Kabupaten Tapsel saat di jumpai wartawan, Selasa (23/11) siang.
Sekitar 40 Kepala Keluarga Keturunan Suku Nias ini, tinggal di hutan Desa Lumban Huayan Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapsel.
“Yang sedih itu, anak-anak kami harus melewati hutan dan kebun warga untuk bisa bersekolah di SD, SMP dan SMA yang ada di pinggir jalan besar Tano Tombangan, bahkan ada yang kurang lebih puluhan kilometer jauhnya. Itu yang membuat kami sedih bang,” ujar J. Harefa dengan mata berkaca kaca.
Dapat dimaklumi kesedihan warga ini. Untuk anak sekolah biasanya mereka sudah harus berangkat dari rumah 2 sampai 3 jam sebelum masuk jam belajar sekolah. Biasanya, mereka melewati hutan dan perkebunan warga dengan cara berkelompok. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan binatang buas. Di hutan, ke 40 KK ini hidup berdampingan 2 hingga 3 Kepala Keluarga. Kelompok ini akan berjauhan dengan kelompok lainnya dengan anggota kelompok yang tidak jauh berbeda.
Mata pencaharian mereka umumnya bercocok tanam dan diselingi berburu binatang buas untuk melindungi kelompok mereka.
“Kita hanya turun hutan sekali seminggu. Kami menjual hasil pertanian kami ke pasar Sayur Matinggi. Pulangnya sore jelang malam kami kembali ke rumah membawa kebutuhan sehari hari,” tutur J. Harefa.
Banyak warga keturunan Suku Nias yang mendiami pinggiran hutan di Kabupaten Tapsel. Biasanya mereka akan menabung untuk membeli pertapakan rumah di perkampungan yang dilalui kendaraan. Mereka akan pindah ke perkampungan dan berbaur dengan warga lainnya setelah mereka mendirikan rumah.
“Kami hanya bisa berharap agar berbagai pihak, termasuk pemerintah untuk bisa meningkatkan perekonomian kami. Pendidikan untuk anak cucu kami, sehingga kami bisa menikmati pembangunan,” tandas J. Harefa berharap. (JK)