Informasi awal dari lintaswarta.co.id menyebutkan kesulitan evakuasi jenazah pendaki Brasil, Juliana De Souza Pereira Marins (27), yang tewas di Gunung Rinjani. Pakar penerbangan Gerry Soejatman menjelaskan beberapa faktor penyebabnya. Lokasi jatuhnya korban di ketinggian sekitar 9.400 kaki menjadi kendala utama. Helikopter, meskipun mampu mencapai ketinggian tersebut, memiliki keterbatasan performa, terutama di medan lereng yang curam. Margin keamanan operasional pun menjadi sangat tipis, sehingga resiko kecelakaan sangat tinggi.
Lebih jauh, Gerry menjelaskan bahwa memaksakan evakuasi dengan helikopter, bahkan jika korban masih hidup, justru sangat berbahaya. Guncangan rotor helikopter di area lereng yang rawan longsor, berupa pasir dan kerikil, berpotensi menggeser posisi jenazah ke jurang sedalam 200 meter. Bayangkan, upaya penyelamatan malah berujung pada tragedi lain yang lebih memilukan.

Faktor cuaca juga berperan besar. Evakuasi helikopter membutuhkan visibilitas yang baik. Kabut atau cuaca buruk akan membuat proses pencarian dan evakuasi menjadi tidak maksimal, bahkan berisiko menyebabkan kecelakaan helikopter. Penerbangan visual menjadi keharusan dalam misi penyelamatan, dan cuaca buruk akan menghalangi hal tersebut. Prioritas utama misi penyelamatan adalah keselamatan tim penyelamat itu sendiri.

Related Post
Proses evakuasi yang memakan waktu panjang ini bermula dari jatuhnya korban pada Sabtu (21/6) sekitar pukul 06.30 WITA. Setelah ditemukan pada Senin (23/6), jenazah berada di lokasi yang sulit dijangkau, sekitar 600 meter kedalaman. Upaya evakuasi yang direncanakan menggunakan metode lifting sempat tertunda karena cuaca buruk. Rencana selanjutnya adalah mengevakuasi jenazah ke Posko Sembalun dengan tandu, lalu ke RS Bhayangkara Polda NTB menggunakan helikopter. Hingga saat ini, belum ada informasi terbaru mengenai kelanjutan proses evakuasi.
Leave a Comment